PRESIDEN TANPA ISTANA
Menurut sejarah, Indonesia pernah punya yang disebut presiden
yang terlupakan jadi presiden. Mengapa dikatakan seperti itu? Karena dua orang
ini tidak masuk dalam data pemerintahan kepresienan Republik Indonesia. Ia
adalah Syarifuddin Prawiranegara dan Mr. Asaad.
Syarifuddin Prawiranegara mendapat sebutan Presiden lahir di
Banten, 28 Februari 1911. Syafruddin memiliki nama kecil "Kuding",
berdarah campuran Banten dan Minangkabau.
Setamat dari sekolah Belanda setingkat SMA, AMS, Bandung, Syafruddin pindah ke
Jakarta demi melanjutkan studinya di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum)
pada tahun 1939. Sekitar tahun
1939-1940 saat pemerintah Belanda masih menguasai Indonesia, Syafruddin bekerja
sebagai pegawai siaran radio swasta, kemudian menjadi petugas Departemen
Keuangan Belanda hingga kekuasaan atas Indonesia berpindah ke tangan Jepang di
tahun 1942.
Syarifuddin disebut presiden karena pernah menjabat pimpinan tertinggi PDRI walaupun sebenarnya Syafruddin Prawiranegara sebenarnya tidak pernah menjabat sebagai Presiden RI. PDRI adalah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Jatuhnya ibu kota negara dan tertangkapnya dua orang ini otomatis membuat pemerintahan tidak berjalan dengan .PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara dengan pusat pemerintahan berada di Sumatera Barat.
Syarifuddin disebut presiden karena pernah menjabat pimpinan tertinggi PDRI walaupun sebenarnya Syafruddin Prawiranegara sebenarnya tidak pernah menjabat sebagai Presiden RI. PDRI adalah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Jatuhnya ibu kota negara dan tertangkapnya dua orang ini otomatis membuat pemerintahan tidak berjalan dengan .PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara dengan pusat pemerintahan berada di Sumatera Barat.
Lalu apa yang melatarbelakangi Syarifuddin Prawiranegara diangkat
jadi ketua PDRI? Pasca proklamasi, ia menjabat sebagai anggota Badan Pekerja
KNIP. Tahun 1946, Syafruddin mendapat kepercayaan untuk masuk dalam jajaran
kabinet sebagai Wakil Perdana
Menteri. Masih di tahun yang sama, Syafruddin
diangkat menjadi
Menteri Keuangan. Setahun berikutnya, ia menjabat sebagai Menteri Kemakmuran.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II, yang diawali dengan serangan ke Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu. Dalam peristiwa itu, terdapat kekosongan kekuasaan di pemerintahan Indonesia karena Presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta ditangkap dan diasingkan Belanda ke pulau Bangka.
Untuk mengisi kosongnya kursi pemerintahan, Syafruddin kemudian mendapat tugas untuk membentuk sekaligus bertindak selaku Ketua Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Mandat tersebut disampaikan Soekarno-Hatta lewat telegramnya. Namun karena sulitnya sistem komunikasi di masa itu, telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Beruntungnya di saat yang bersamaan, begitu mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan negara, Syafruddin langsung mengambil inisiatif yang sama dengan pemikiran Soekarno.Ia kemudian mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darura. Usulan tersebut juga mendapat persetujuan dari Gubernur Sumatra Mr TM Hasan, demi menyelamatkan negara yang berada dalam bahaya akibat kosongnya kepala pemerintahan.
Menteri Keuangan. Setahun berikutnya, ia menjabat sebagai Menteri Kemakmuran.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II, yang diawali dengan serangan ke Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu. Dalam peristiwa itu, terdapat kekosongan kekuasaan di pemerintahan Indonesia karena Presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta ditangkap dan diasingkan Belanda ke pulau Bangka.
Untuk mengisi kosongnya kursi pemerintahan, Syafruddin kemudian mendapat tugas untuk membentuk sekaligus bertindak selaku Ketua Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Mandat tersebut disampaikan Soekarno-Hatta lewat telegramnya. Namun karena sulitnya sistem komunikasi di masa itu, telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Beruntungnya di saat yang bersamaan, begitu mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan negara, Syafruddin langsung mengambil inisiatif yang sama dengan pemikiran Soekarno.Ia kemudian mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darura. Usulan tersebut juga mendapat persetujuan dari Gubernur Sumatra Mr TM Hasan, demi menyelamatkan negara yang berada dalam bahaya akibat kosongnya kepala pemerintahan.
Misi Syarifuddin Prawiranegara saat itu adalah selain untuk
mengisi kekosongan pemerintahan di Indonesia adalah untuk melakukan berbagai upaya agar para pemimpin
bangsa yang ditangkap Belanda bisa segera dibebaskan. Usahanya membuahkan hasil
dimana Belanda akhirnya terpaksa berunding dengan Indonesia. Usaha Belanda
untuk kembali menancapkan kekuasaannya di bumi pertiwi pun berakhir yang
ditandai dengan Perjanjian Roem-Royen. Soekarno-Hatta dan kawan-kawan akhirnya
dibebaskan dan kembali ke pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Masa jabatan Syarifuddin Prawiranegara terbilang singkat
yakni hanya 8 bulan saja. Pada 13 Juli 1949 di Yogyakarta, ia menyerahkan mandatnya
kepada Presiden Soekarno. Serah
terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi dilakukan pada 14 Juli 1949
di Jakarta.
Lalu
selanjutnya ada Mr.Asaad. Mr Asaad lahir di
Dusun Pincuran Landai, Kanagarian Kubang Putih, Banuhampu, Agam, Sumatera
Barat, 18 September 1904 . Assaat
meneruskan studinya ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi, yang kemudian
menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta. Setelah itu
melanjutkan study ke Belanda hingga memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr)
atau Sarjana Hukum. Assaat sudah aktif
dalam gerakan kebangsaan sejak menjadi mahasiswa Dia pun aktif sebagai anggota
Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia. Dia juga pernah dipercaya menjadi
Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda. Lalu
bergabung dalam gerakan politik Partai Indonesia (Partindo).
Apa yang melatarbelakangi Mr. Asaad menjadi presiden?. Yang
melatar belakanginya adalah Pada saat itu Mr. Assaat duduk sebagai anggota
sekretariatnya. Tidak lama kemudian dia ditunjuk menjadi ketua BP-KNIPdan Ketua
KNIP.
Saat perang gerilya PRRI di hutan-hutan Sumatera Barat dan
Sumatera Utara tersebut. Dia pun tertangkap kemudian dia dipenjara di Jakarta selama empat tahun 1962-1966. Mr.Assat baru keluar dari penjara, setelah Orde Lama ditumbangkan Orde Baru.Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno, Bung Hatta serta pemimpin Republik Indonesia lainnya, kemudian diasingkan ke Manumbing, Pulau Bangka. Saat berlakunya Konstitusi RIS dan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat).
Saat perang gerilya PRRI di hutan-hutan Sumatera Barat dan
Sumatera Utara tersebut. Dia pun tertangkap kemudian dia dipenjara di Jakarta selama empat tahun 1962-1966. Mr.Assat baru keluar dari penjara, setelah Orde Lama ditumbangkan Orde Baru.Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno, Bung Hatta serta pemimpin Republik Indonesia lainnya, kemudian diasingkan ke Manumbing, Pulau Bangka. Saat berlakunya Konstitusi RIS dan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat).
Tujuan
Mr. Asaad sendiri saat menjadi Presiden RI adalah setelah
perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, Assaat diamanatkan menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di
Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950.Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia
Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden RI pada Agustus 1950 selesai, demikian
juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan
Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.
Berakhirnya Mr.Asaat jadi presiden adalah pada Agustus 1950,
demikian juga abatannya selaku
Ketua KNIP dan Badan Pekerja KNIP, berakhir. Sebab pada bulan Agustus 1950
tersebut, negara-negara bagian RIS melebur diri (bersatu kembali) dalam Negara
Kesatuan RI. Kemudian, Setelah ibukota RI (Undang-Undang Dasar Sementara)
kembali ke Jakarta, Mr. Assaat sempat menjadi anggota parlemen (DPR) dan
menjabat sebagai
Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Natsir
September 1950 - Maret 1951. Setelah Kabinet Natsir bubar, dia pun kembali
menjadi anggota Parlemen.
Jadi kesimpulannya, baik Syarifuddin Prawiranegara maupun Mr.
Asaat sama-sama memang pernah menjabat sebagai presiden RI namun tidak untuk
waktu yang lama dan secara formal seperti presiden-presiden sebelumnya. Mereka
hanya menjabat sebagai presiden RI dalam waktu yang sebentar dan hanya untuk
suatu kepentingan tertentu
Refrensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar